Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Festival Salju Di Sapporo


Festival Salju Sapporo (さっぽろ雪まつり Sapporo Yuki Matsuri?) adalah festival salju terbesar di Jepang yang diadakan di kota Sapporo,Hokkaido. Festival ini dilangsungkan selama seminggu pada awal bulan Februari. Setiap tahunnya sekitar dua juta wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke Sapporo selama berlangsungnya festival.

Sejak tahun 2006, festival ini diadakan di tiga lokasi: Taman Odori, Susukino, dan Sapporo Satoland. Di lokasi Taman Odori dipamerkan ukiran es dan salju berukuran sangat besar, termasuk pahatan es berbentuk miniatur bangunan terkenal. Pameran ukiran es yang lebih kecil diadakan di Susukino, sementara acara untuk keluarga diadakan di Sapporo Satoland.





Festival pertama Festival salju Sapporo pertama kali diselengarakan tahun 1950 oleh dinas pariwisata Sapporo dan pemerintah kota Sapporo, dengan sponsor surat kabar lokal Hokkai Times. Di Sapporo sebenarnya pernah dilangsungkan berbagai festival salju, namun terhenti sewaktu Perang Dunia II.

Ide membuat patung dari salju diambil dari festival salju yang diadakan tahun 1935 oleh murid-murid sebuah SD di kota Otaru. Festival yang pertama bermodalkan 6 buah patung salju buatan siswa SMP dan SMU kota Sapporo, ditambah festival salju di depan stasiun Hokkaido yang diadakan Japanese National Railways (sekarang disebut JR). Festival dimeriahkan dengan kontes, senam, perlombaan, tari, dan pemutaran film.

Perkembangan Festival Pada festival salju yang pertama, tinggi patung dibatasi hingga 7 meter. Di festival ke-4 (1953), batasan tinggi dihapus dan siswa sekolah menengah kejuruan kota Hokkaido membangun ukiran es yang tingginya 15 meter. Salju yang diperlukan berjumlah sangat banyak hingga perlu bantuan pinjaman truk dan buldoser dari pemerintah kota Hokkaido. Sejak itu, pemerintah kota Hokkaido selalu meminjamkan alat-alat berat sehingga bisa dibangun ukiran es dan salju berskala besar.

Pada festival ke-5 (1954) mulai ikut dipamerkan patung salju sumbangan penduduk kota. Festival yang ke-6 (1955) ditandai dengan makin banyaknya peserta. Bangunan dalam berbagai bentuk yang dibuat pasukan bela diri Jepang, perusahaan swasta, pemerintah kota, dan berbagai sponsor mulai ditata rapi.

Sejak sekitar festival ke-10 (1959), wisatawan dari luar Hokkaido mulai banyak yang datang untuk melihat festival salju Sapporo. Festival tahun 1972 diadakan bersamaan dengan penyelenggaraan olimpiade musim dingin tahun 1972 dan ikut diperkenalkan di luar negeri. Sejak itu, festival ini mulai dijadikan tujuan oleh wisatawan asing. Sejak tahun 1974, festival dimeriahkan lomba internasional seni pahat es dan salju yang diikuti seniman pemahat dari berbagai kota besar di dunia.

Lokasi pameran patung es di Susukino berasal dari acara lokal yang diadakan pertama kali tahun 1981, dan baru menjadi bagian festival salju Sapporo pada tahun 1983. Dari festival ke-41 (tahun 1990) hingga festival ke-42 (tahun 1992), festival salju Sapporo pernah dilangsungkan di 4 lokasi, tapi lokasi ke-4 ditutup karena sedikitnya jumlah pengunjung dan ukiran salju yang dipamerkan.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Event Matsuri


Matsuri (?) adalah istilah agama Shinto yang berarti persembahan ritual untuk Kami. Dalam pengertian sekulermatsuri berarti festivalatau perayaan di Jepang. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut kunchi.

Berbagai matsuri diselenggarakan sepanjang tahun di berbagai tempat di Jepang. Sebagian besar penyelenggara matsuri adalah kuil Shinto atau kuil Buddha. Walaupun demikian, ada pula berbagai "matsuri" (festival) yang bersifat sekuler dan tidak berkaitan dengan institusi keagamaan.

Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras,gandumkacangjawawutjagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.

Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan mikoshidashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi),miko (gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar malam beraneka makanan dan permainan.




Sejarah Matsuri berasal dari kata matsuru (祀る?, menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalamteologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingūmerupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.

Pengertian Lain
Dalam bahasa Jepang, kata matsuri juga berarti festival dan aksara kanji untuk matsuri (?) dapat dibaca sebagai sai, sehingga dikenal istilah seperti eiga-sai (festival film),sangyō-sai (festival hasil panen), ongaku-sai (festival musik) dan daigaku-sai (festival di universitas), dan festival-festival lain yang bersifat sekuler.

Pemerintah daerah atau kelompok warga kota juga menyelenggarakan festival yang disebut shimin matsuri (festival rakyat). Festival ini diadakan untuk menghidupkan perekonomian daerah dan tidak berhubungan dengan institusi keagamaan.




Event Matsuri Terbesar

Daftar Matsuri Zaman Dahulu ( Mungkin Masih Ada )

Daerah Tohoku

Daerah Kanto
Daerah Cubu

Daerah Kinki

Daerah Chugoku dan Shikoku
Daerah Kyushu

Daftar Festival Di Negri Sakura


SOURCE

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Upaca Minum Teh Di Jepang

 Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.




Sejarah Upacara Minum Teh


Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōkimenulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi pada tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō UjisatoHosokawa TadaokiMakimura Hyōbu,Seta KamonFuruta ShigeteruShigeyama KenmotsuTakayama UkonRikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori MasakazuKatagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: OmotesenkeUrasenke danMushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenkegenerasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijakuyang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada tehsencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Pada tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Aliran Upaca Minum Teh :

  • Sansenke - Aliran yang dimulai oleh Sen no Shōan yang merupakan anak yang dibawa oleh istri muda Sen no Rikyū dan diteruskan oleh garis keturunan keluarganya hingga sekarang. Sansenke merupakan garis keturunan terpisah dari keluarga Sakaisenke. Aliran Sansenke terdiri dari:
  • Sōtanryū - Aliran yang dilahirkan Sensōtan (anak Sen no Shōan) dan murid-muridnya. Selain aliran Sansenke, aliran Matsuoryū, aliran Yōkenryū, aliran Sōhenryū, aliran Fusairyū dan aliran Hisadaryū juga masih merupakan garis keturunan Sotanshitennō.
  • Sakaisenke - Keluarga utama Senke. Sen no Dōan (putra sah Sen no rikyū) merupakan penerus keluarga Senke, tapi garis keturunannya terputus.
  • Anraku Anryū
  • Ueda Sōkoryū (pendiri: Ueda Shigeyasu
  • Urakuryū (pendiri: Oda Uraku)
  • Edo Senkeryū
  • Enshūryū (pendiri: Kobori Masakazu)
  • Oriberyū
  • Sakairyū
  • Sekishūryū (pendiri: Katagiri Sekishū)
  • Sekishūryū Ikeiha
  • Sekishūryū Ōguchiha
  • Sekishūryū Shimizuha
  • Sekishūryū Nomuraha
  • Sōhenryū
  • Sōwaryū (pendiri: Kanamori Shigechika)
  • Dainippon Sadōgakkai
  • Chinshinryū
  • Nararyū
  • Nambōryū
  • Hayamiryū
  • Fusairyū
  • Higokoryū - Aliran berkembang di wilayah han Kumamoto dan terdiri dari:
    • Furuichiryū
    • Koboriryū
    • Kayanoryū
  • Hisadaryū
  • Fujibayashiryū
  • Fuhakuryū (pendiri: Kawakami Fuhaku)
  • Fumairyū
  • Hosokawasansairyū (pendiri: Hosokawa Tadaoki)
  • Horinouchiryū
  • Matsuoryū
  • Mitaniryū
  • Miyabiryū
  • Yabunouchiryū
  • Rikyūryū
  • Kogetsuenshūryū


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS